Jumat, 08 Agustus 2008

Petilasan Sunan Geseng


Riwayat tentang Wali Songo sebagai penyebar agama Islam di Pulau Jawa telah menjadi bagian dari sejarah Islam Indonesia. Salah satunya adalah, Sunan Kalijaga. Ternyata beliau pernah singgah di Tanah Bagelen. Di sini meninggalkan sebuah cerita yang sangat menakjubkan dengan bukti berupa petilasan yang masih terjaga dengan baik dan bisa disaksikan oleh siapa saja yang ingin melihatnya. Petilasan itu berupa batu gosong, yang konon diyakini sebagai tempat duduk Sunan Geseng ketika terbakar oleh api.

Sunan Kalijaga amatlah dekat dan melekat di hati kaum muslimin di Tanah Jawa melebihi yang lainnya. Kelebihan utamanya adalah kepiawaiannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam adat tradisi orang Jawa. Kecintaan masyarakat Jawa terhadap wayang, memberikan inspirasi bagi Sunan Kalijaga untuk memasukkan hikayat-hikayat Islam ke dalam permainan wayang. Sunan Kalijaga adalah pencipta lakon wayang kulit dan pengarang buku-buku wayang yang mengandung cerita dramatis bernuansa Islam.

Salah satu murid kinasih Sunan kalijaga adalah Sunan Geseng. Beliau adalah murid yang sangat patuh dan setia terhadap semua perintah Sunan Kalijaga. Pada suatu hari Sunan Kalijaga ingin menguji kesetiaan Sunan Geseng dengan ujian yang cukup berat. Sunan Geseng yang waktu itu masih bernama Ki Cokrojoyo, buyut Nyai Ageng Bagelen, diminta untuk menjaga dan memegangi tongkat yang ditancapkan di sebuah bukit di wilayah Bagelen. Sunan Kalijaga berpesan agar Ki Cokrojoyo tidak meninggalkan tempat itu sampai beliau kembali.

Ki Cokrojoyo duduk bersila memegangi dan menjaga tongkat yang ditinggalkan oleh Sunan Kalijaga. Hujan, panas, dingin dan ancaman binatang buas selama menunggui tongkat gurunya tak sejengkalpun Ki Cokrojoyo menggeser tempat duduknya. Ia tetep tak bergeming dari tempat duduknya, meski hanya sesaat. Hari demi hari, bulan terus berganti, tahun demi tahun tak terasa Ki Cokrojoyo telah duduk bersila memegangi dan menjaga tongkat gurunya selama 7 tahun.

Setelah 7 tahun itulah Sunan Kalijaga kembali ke tempat itu untuk menemui muridnya Ki Cokrojoyo. Namun apa yang terjadi di luar dugaan? Muridnya tak terlihat lagi di tempat itu. Bukit tempat dimana Ki Cokrojoyo memegangi dan menjaga tongkat Sunan Kalijaga sudah berubah menjadi sebuah hutan yang sangat lebat.

Sunan Kalijaga dengan amat terpaksa membakar tempat itu untuk mengetahui tempat sang murid, yang ditinggalkan sendirian selama 7 tahun tersebut. Dengan keadaan hutan yang sangat menyeramkan, hati Sunan Kalijaga tak yakin apakah Ki Cokrojoyo masih bertahan di tempat itu. Setelah tiga perempat bagian hutan itu habis terbakar, di sanalah tampak Ki Cokrojoyo duduk bersila dalam keadaan sama persis ketika ditinggalkan dahulu. Tubuhnya hitam terpanggang api sambil memegangi erat tongkat Sunan Kalijaga yang ditancapkan di tanah.

Bagian Ki Cokrojoyo tampak gosong akibat terpanggang api, namun dirinya tak bergeming sedikitpun dari tempat duduknya. Hati Sunan Kalijaga terharu saat itu. Beliau belum pernah menemui kesetiaan dan ketaatan yang sangat luar biasa dari seorang muridnya itu sebelumnya. Melihat pengorbanan sedemikian besar yang telah diberikan oleh muridnya, maka sejak itu Ki Cokrojoyo telah lulus ujian dan dinilai telah memiliki ilmu setingkat dengan ilmu seorang wali. Lantas Ki Cokrojoyo diberi gelar Sunan Geseng.

Petilasan Sunan Geseng berada di puncak Gunung Siringin, Pedukuhan Gatep, Desa/Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Selain di Bagelen petilasan Sunan Geseng juga terdapat di daerah Piyungan Bantul (DIY), Kebumen (Jateng) dan makamnya berada di Argotirto, Magelang (Jateng). Tidak jauh dari lokasi petilasan juga terdapat sebuah batu besar dengan permukaan agak rata dan lebar. Oleh penduduk setempat diberi nama Si Roto, diyakini tempat berkumpulnya para wali dalam membahas syiar Islam di Tanah Jawa. Hingga sekarang juga masih ada peninggalan Sunan Geseng lainnya, yakni berupa bangunan masjid yang sekarang diberi nama Masjid Sunan Geseng. Masjid ini terletak di Pedukuhan Kauman, Desa/Kecamatan Bagelen, kurang lebih berjarak 2 Km dari lokasi petilasan Sunan Geseng.

Hampir setiap hari banyak orang datang berziarah di sini. Peziarah tersebut tidak hanya berasal dari Kabupaten Purworejo saja, tak sedikit juga peziarah yang datang dari luar kota. Seperti dari Semarang, Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Solo, kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa ini.

Jalan menuju ke lokasi batu petilasan Sunan Geseng kurang lebih berjarak 500 meter dari jalur utama Jalan Raya Purworejo-Jogjakarta Km 11,5. Jalannya cukup menantang, sedikit terjal karena terletak di puncak bukit yang memiliki ketinggian kurang lebih 100 meter di atas permukaan tanah. Meski demikian jalan ke lokasi sudah cukup nyaman dengan adanya perbaikan oleh pemerintah setempat. (Sumber : Buku Wisata Ziarah)

Masjid Kuno Santren Bagelen


Masjid Santren Bagelen adalah masjid tertua di wilayah Bagelen. Didirikan pada tahun 1618, masjid ini berasitektur tradisional Jawa dengan atap tajuk tumpang satu. Konstruksi kayu serta gonjo Masjid Santren sama dengan yang ada di Masjid Menara Kudus dan Masjid Kajoran, Klaten. Ada kemungkinan ketiga masjid ini berasal dari masa pembuatan yang sama. Di sisi utara dan selatan terdapat sederet makam yang diberi cungkup diantaranya terdapat beberapa makam berprasasti.

Serambi masjid terdiri dari dua ruang. Ruang utama berbentuk bujur sangkar berukuran 10x10 m dengan lantai yang didominasi warna hijau. Terdapat 4 tiang soko guru berbentuk bulat dengan diameter 40 cm dan diantara deretan tembok pada ruang utama terdapat 12 buah soko rowo.

Pada salah satu soko rowo di sebelah utara mihrab terdapat prasasti dalam huruf Arab yang berbunyi; “Masjid ini dibangun di negeri yang agung untuk leluhur yang sudah meninggal atas perintah isteri Sultan Mataram, diberikan kepada Ustadz Baidlowi dan sebenarnya yang membuat masjid ini Khasan Muhammad Shufi, semoga ia mendapat ridla Allah, berupa nikmat dunia dan akhirat dan ditetapkan imannya.”

Kisah mengenai Masjid Santren ini tampaknya berawal dari jaman pemerintahan Kerajaan Mataram di bawah Panembahan Senopati, dimana Bagelen merupakan daerah yang memiliki peranan penting sebagai “Negara Agung” yang merupakan daerah di luar wilayah ibukota. Bagelen adalah pertahanan terakhir Mataram sebelum ibukota yang memiliki nilai strategis militer bagi Kerajaan Mataram.

Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung 1613-1645. Pada masa itu hiduplah seorang ulama besar bernama Kyai Baidlowi di daerah Bagelen, yang senantiasa setia membantu Mataram melawan Belanda. Dengan ilmunya yang tinggi, Belanda sering dibuat tak berdaya menghadapi Mataram yang dibantu oleh Kyai Baidlowi.

Atas jasanya yang besar bagi Mataram, isteri Sultan Agung lalu menghadiahi sebuah masjid yang pembangunannya diarsiteki oleh Khasan Muhammad Shufi. Hadiah masjid ini mencerminkan keadaan pertahanan Mataram yang sangat bergantung pada hubungan baiknya dengan Bagelen. Masjid ini sekaligus menandai perkembangan Islam yang telah mencapai wilayah Bagelen di jaman pemerintahan Sultan Agung.

Kyai Baidlowi beserta anaknya RKH Khasan Moekibad dimakamkan di areal masjid ini. Para peziarah di hari-hari besar Islam maupun sehari-harinya banyak yang berkunjung ke tempat ini. Juru kunci yang sampai saat ini mengabdikan dirinya di Masjid Santren Bagelen adalah keturunan langsung dari Kyai Baidlowi.

Lokasi Masjid Santren Bagelen sangat mudah dijangkau, terletak didekat jalur utama Jalan Raya Purworejo-Jogjakarta Km. 11. Atau tepatnya di Pedukuhan Bedug, Desa/Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pengunjung dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat untuk menuju lokasi. Jalannya pun cukup mulus karena sudah beraspal, jarak tempuh dari Jalan Raya Purworejo-Jogjakarta hingga lokasi kurang lebih hanya 500 meter. (Sumber : Buku Wisata Ziarah)

Minggu, 03 Agustus 2008

Benteng Pendem


Benteng Pendem terletak di perbukitan Dukuh Kalimaro, Desa Bapangsari, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia. Terletak di ketinggian 200 meter dari permukaan laut.

Benteng ini merupakan benteng peninggalan Balatentara Dai Nipon Jepang sewaktu menjajah di Indonesia. Benteng Pendem dibangun pada tahun 1945. Adapun jumlahnya terdiri atas 29 buah. Menurut kegunaannya benteng-benteng tadi terbagi dalam beberapa jenis. Yakni benteng pos penjagaan, benteng telekomunikasi, benteng pengintai, benteng logistik, benteng komando dan benteng peristirahatan prajurit. Tujuan dibangunnya benteng ini adalah untuk pusat pertahanan Balatentara Dai Nipon Jepang dari serangan sekutu. Terutama serangan dari arah Samudera Indonesia.

Lokasi benteng yang semula terpendam tanah kini sudah digali keberadaannya. Sehingga bisa dilihat secara keseluruhan bagi para pengunjung di sana. Kini keberadaannya sering dikunjungi oleh banyak orang. Mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Tak heran jika musim liburan tiba, lokasi benteng ini cukup ramai.

Ada beberapa hal menarik yang bisa dinikmati di sana. Di samping menyaksikan bangunan bersejarah sebagai saksi bisu kekejaman penjajahan Jepang pada waktu itu, pengunjung juga dapat menyaksikan pemandangan indah. Bentangan garis pantai selatan dari barat ke timur juga dapat disaksikan dari tempat ini. Suasana kekeluargaan penduduk pedesaan di sekitarnya juga menambah kenyamanan bagi para pengunjung.

Lokasi Benteng Pendem juga mudah dijangkau oleh alat transportasi. Baik roda dua maupun roda empat. Jalan menuju lokasi sudah diaspal. Adapun rute jalan yang mudah ditempuh adalah melalui persimpangan Jalan Purworejo-Jogjakarta Km. 13 (pertigaan jalan sebelah setalan Pasar Krendetan-re)-Desa Somorejo-Desa Tlogokotes-lokasi Benteng Pendem. Jarak tempuh dari jalan utama Purworejo-Jogjakarta hingga lokasi kurang lebih 4 kilometer. (Redaksi)